Allah mengkhususkan hukuman
bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga
hal.
Pertama,
hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam
hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap
fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan
dari negerinya selama satu tahun.
Kedua ,
Allah melarang hamba-hambaNya untuk merasa kasihan kepada para pelaku zina
sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina itu.
Sebab, Allah mensyari'at kan
hukuman tersebut didasarkan pada kasih sayang dan rahmatNya pada mereka. Allah
itu sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah
Allah untuk memerintahkan berlakunya hukuman ini. Oleh karenanya janganlah
kasih sayang yg ada di hati kalian itu mencegah kalian untuk melaksanakan perintah
Allah.
Hal ini -walaupun sebenarnya juga berlaku
pada seluruh macam hukuman (hudud)yang disyari'atkan- namun disebutkan
dalam hukuman zina suatu kekhususan, karena memang sangat penting untuk
disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai perasaan marah dan
sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang
menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada
pezina ketimbang kepada para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal
itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka
itu membuat tidak diberlakukannya hukuman Allah .
Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul?
Penyebabnya yaitu karena perbuatan zina ini bisa terjadi pada orang golongan
atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan
yang kuat untuk melakukannya (melampiaskan libido. pent) dan orang yang
melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling ba- nyak
menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara hati manusia itu secara tabiat,
punya perasaan kasihan pada orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di
antara mereka yang siap memberikan bantuan pada mereka, walaupun
sebenarnya bentuk dari percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal seperti
ini sudah tidak dipungkiri lagi. Dan hal itu memang sudah diakui oleh
orang-orang.
Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina)
kebanyakan terjadi dengan adanya suka sama suka dari kedua belah pihak, bukan
dengan pemaksaan, penganiayaan dan lainnya yang membuat jiwa orang-orang itu
geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh,
sehingga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan menghambat ditegakkannya
hukuman Allah I. Ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu
dapat dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perintah Allah dapat
ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi
hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah dalam perintah dan
rahmatNya.
Ketiga,
Allah memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk
ataupun rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang
mukmin, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat
menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hukuman tersebut lebih efektif untuk
tujuan "zajr" (membuat jera pelaku dan membuat takut orang
lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang "muhshan" (sudah
berkeluarga) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi Luth' u yang
dilempar dengan batu. Yang demikian itu karena perbuatan zina dan liwath
(homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth' u) adalah sama-sama perbuatan fahisyah
(keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang bertentangan dengan
hikmah Allah di dalam penciptaan perintahNya. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homosex)
itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut
lebih pantas dan lebih baik untuk dibunuh saja; sebab dia itu mengalami
kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua
kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menyerap habis rasa malu dari mukanya,
sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Allah, juga kepada makhlukNya. Hati
dan jiwa orang tersebut sudah dipengaruhi oleh sperma pelaku liwath
seperti berpengaruhnya racun dalam tubuh seseorang.
Ada
perbedaan pendapat di antara sebagian orang; apakah orang yang menjadi pelaku liwath
itu bisa masuk Surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku mendengar
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini.
Mereka yang
mengatakan tidak akan masuk Surga memberikan hujjah dengan
beberapa hal:
Di
antaranya, bahwa Nabi bersabda:
"Tidak akan masuk Surga anak seorang pezina."()
Bila nasib dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak
mempunyai dosa apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai
kejelekan dan kekotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kebaikan apa
pun selamanya, disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang
kotor; bila tubuh yang tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja
sangat pantas untuk masuk api Neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang
memang tercipta dari sperma yang haram?
Mereka mengatakan: Orang yang menjadi pelaku liwath
itu lebih jelek dari anak hasil zina, lebih hina dan lebih kotor pula. Dia itu
memang pantas untuk tidak mendapat taufik kebaikan. Dia juga pantas dihalangi
untuk mendapatkan taufik tersebut. Dan setiap kali dia melakukan amal yang
baik, maka Allah akan menggandengkannya dengan amalan lain yang dapat
merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang jarang kita dapati bahwa orang
yang sudah seperti itu di masa kecilnya, kecuali dia akan lebih parah di masa
tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih
dan taubat yang nashuha.
Namun setelah diteliti, yang lebih pas untuk
dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang tersebut bertaubat dan
kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan karunia taubat yang nashuha
serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih baik dari
kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan
berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan
pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya, menjaga
kemaluannya dari yang haram dan benar-benar jujur kepada Allah dalam mu'amalah-nya,
maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk ahli
Surga. Sebab, Allah Maha mengampuni seluruh dosa. Bila taubat itu -kita
ketahui- dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Allah,
membantai para nabi dan para waliNya, atau sihir, kufur dan lain semacamnya,
maka kita tidak boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini,
padahal, dengan keadilan dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan
bahwa:
"Orang yang bertaubat dari dosanya sama
seperti orang yang tidak berdosa."()
Dan Allah sendiri telah memberikan jaminan
bahwa barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan
zina, Allah akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya dengan
kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup setiap
orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.
Allah berfirman:
"Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu
yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah,
sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa, seungguhnya Dia Maha Pengampun
dan Maha Pengasih." (Az-Zumar: 53) Dan tidak akan keluar
dari keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi
mereka yang bertaubat.
Bila ternyata orang
yang menjadi pelaku perbuatan liwath itu di masa tuanya lebih
jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nashuha dan
amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak pula
mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah
perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit
untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam
Surga di saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman baginya. Sungguh
Allah memberikan hukuman atas perbuatan yang jelek dengan kejelekan lainnya,
sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek yang akan diterimanya,
sebagaimana Allah juga memberikan ganjaran bagi sebuah perbuatan baik dengan
perbuatan baik lainnya.